Desa Linggoasri Merawat Alam dan Merawat Budaya

Desa Linggoasri Merawat Alam dan Merawat Budaya

Merawat Alam, Merawat Budaya, Desa Linggoasri, Inspirasi Moderasi Beragama untuk Generasi Muda

SUARA PAREPARE - Desa Linggoasri, sebuah permukiman yang indah terletak di kecamatan Kajen, kabupaten Pekalongan, telah menjadi pusat perhatian karena pendekatannya yang unik terhadap merawat alam dan budaya dalam konteks moderasi beragama.

Desa ini telah menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda yang berambisi untuk menciptakan dunia yang lebih baik, di mana alam dan budaya dapat hidup berdampingan dengan harmonis.

Dalam hal melestarikan budaya, Desa Linggoasri memiliki kelompok seni tradisional yang aktif dalam pertunjukan tarian dan musik daerah. Mereka juga mengajarkan generasi muda tentang nilai-nilai budaya dan tradisi.

Generasi muda desa ini juga sangat terlibat dalam upaya ini. Mereka telah membentuk kelompok pemuda yang aktif dalam kegiatan lingkungan dan budaya.

Mereka menjadi inspirasi bagi yang lain, menunjukkan bahwa merawat alam, merawat budaya, dan menjalani moderasi beragama adalah hal-hal yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Desa Linggoasri, dengan keindahan alamnya yang menakjubkan, telah menjadi tujuan wisata yang semakin populer. Namun, apa yang membedakan desa ini adalah pendekatannya terhadap pengembangan yang diilhami oleh ajaran agama. 

Warga Desa Linggoasri memandang bahwa merawat alam adalah bentuk ibadah, dan menjaga keaslian budaya lokal adalah tugas suci.


Toleransi Warga Desa Linggoasri 

Desa Linggoasri terdiri dari berbagai kelompok agama yang berbeda, termasuk Islam, Kristen, Hindu, dan Budha. 

Seiring berjalannya waktu, penduduk desa ini telah belajar untuk saling menghormati, mendukung, dan merayakan perbedaan agama mereka. 

Salah satu kunci keberhasilan moderasi beragama di desa ini adalah adanya dialog antaragama yang teratur.

Menurut seorang sesepuh di Desa Linggoasri, nama desa ini, Linggoasri, berasal dari batu lingga yang merupakan simbol dewa Syiwa. Batu lingga berbentuk bulat panjang yang ada di desa tersebut, dan digunakan sebagai simbol usia tua dan peninggalan sejarah desa. 

Sebagian penduduk di Desa Linggoasri menganut agama Hindu dan masih menjalankan ritual keagamaan seperti menyepi, berdoa, sedekah, dan lainnya di sekitar Batu Lingga. 

Ritual ini khusus untuk menghormati situs Batu Lingga yang digunakan untuk pemujaan kepada dewa Syiwa pada zaman dahulu. 

Masyarakat Dusun Linggo di Desa Linggoasri secara aktif menggunakan Batu Lingga sebagai pusat kegiatan keagamaan, terutama saat malam Syiwaratri, yang merupakan malam gelap gulita, saat Dewa Syiwa dipercaya memberikan berkah bagi mereka yang berbakti. 

Mayoritas masyarakat desa Linggoasri adalah orang Islam. Kegiatan belajar mengajar di sekitar desa tersebut tidak membeda-bedakan suatu agama, ketika pembelajaran agama, bagi murid selain agama Islam memiliki Guru pengajarnya masing-masing, tidak ada kata pembulian, merendahkan, semua masyarakat saling menjalin kerukunan. 

Semua masyarakat menganut kepercayaan masing-masing, bahkan dalam satu keluarga terdapat lebih dari satu agama. Tapi mereka tetap teguh dengan kepercayaanya dan saling support. 

Perubahan agama bagi yang berbeda agama dilakukan ketika sudah menikah,bagi wanita atau pria sudah di lepas tanggungjawab oleh orang tuanya untuk memilih jalannya masing-masing, dan tidak melarang ataupun mengekang untuk tetap memilih agama yang dianutnya dari kecil .

Salah satu warga desa, Ibu Trimo, mengungkapkan, “Kami merayakan Idul Fitri bersama tetangga Kristen kami, Natal bersama teman Hindu, dan kami saling membantu dalam upacara keagamaan masing-masing. Ini adalah bentuk cinta dan persaudaraan yang sejati.

Keberhasilan moderasi beragama di Linggoasri juga telah menciptakan peluang ekonomi. Mereka telah mengembangkan pariwisata berbasis agama yang menarik wisatawan dari berbagai latar belakang. 

Wisatawan dapat mengunjungi tempat-tempat ibadah yang beragam dan belajar tentang berbagai keyakinan agama sambil menikmati keindahan alam desa ini.

Di Linggoasri, bahasa yang digunakan masih sangat kental dengan bahasa Jawa yang khas, menggunakan bahasa krama dan bahasa ngoko. 

Mayoritas pekerjaannya adalah sebagai petani di sawah dan kebun. Hasil panen seperti padi,jagung,kopi,dan kapulaga. Udaranya sangat sejuk,jauh dari kata pencemaran udara,sangat asri,banyak tumbuhan hijau, lingkungan bersih, berbagai bentuk rumah menghiasi sepanjang kanan kiri jalan Desa Linggoasri. 

Kegiatan pelestarian alam, seperti penanaman tumbuhan hijau, dilakukan oleh masyarakat dan pemuda-pemudi yang ikut serta dalam kegiatan tersebut.

Mereka percaya bahwa menjaga alam adalah tanggungjawab bersama dan merupakan wujud cinta kepada Sang Pencipta. Sebagai hasilnya, beberapa pohon telah ditanam di sekitar desa, menghijaukan wilayah ini dan menciptakan lingkungan yang lebih sejuk.

Desa Linggoasri adalah bukti bahwa merawat alam dan budaya dapat menjadi dasar bagi masyarakat yang inklusif dan berkembang. 

Dengan semangat moderasi beragama sebagai landasan, desa ini membuktikan bahwa perbedaan bisa menjadi kekuatan yang menginspirasi. 

Harapan terbesar mereka adalah bahwa pesan mereka akan menyebar, menggerakkan lebih banyak komunitas untuk merawat alam dan budaya mereka dengan cinta dan hormat, demi masa depan yang lebih baik bagi semua.

Penulis: Azizah Nur Cholifatun
*Mahasiswi Komunikasi Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan

Ikuti berita terbaru di Google News

Redaksi SUARAPAREPARE.COM menerima naskah opini dan rilis berita (citizen report).
Silahkan kirim ke email: redaksisuaraparepare@gmail.com atau Whatsapp +62856-9345-6027